Sejarah Desa Paninggaran
Sejarah Wali Tanduran dan Hubungan Paninggaran
Dalam beberapa kisah Pangeran Cakrabuana atau
Walangsungsang dianggap sama dengan Kiansantang, padahal dalam kisah lainnya
Pangeran Cakrabuana banyak juga yang menyebut namanya dengan sebutan Arya
Santang.
Kiansantang dalam cerita lain sering dianggap
sebagai seorang anak yang berupaya mengislamkan Prabu Siliwangi (ayahnya),
sehingga terjadi peperangan. Padahal kejatuhan Pajajaran terjadi jauh-jauh hari
pasca wafatnya Sri Baduga. Tidak ada alasan seorang raja yang memiliki tahta
penuh harus ngalalana lantaran dikejar-kejar anaknya, sementara dia sendiri
masih bertahta sebagai raja yang berkuasa. Ada juga yang menyebutkan bahwa Kiansantang
adalah nama lain dari Rajasangara yang dikebumikan di daerah Godog – Garut. Ia
termasuk penyebar islam di Jawa Barat.
Dalam cerita lainnya Kiansantang dianggap tilem dan tetap kokoh ngagem
agama leluhurnya. Ia dianggap benteng budaya sunda yang tak lekang ditelan
waktu tak luntur ditelan masa. Tapi patut pula diakui, bahwa kesimpang siuran
penafsiran Kiansantang membawa pada pemahaman yang kurang pas tentang sosok
sejarah Cakrabuana, bahkan ada yang menafsirkan bahwa Kiansantang bukan Arya
Santang. Namun mudah mudahan kedepan ada sejarawan yang mampu menguak tabir
ini, tentunya melalui cara pemisahan antara mitos dan sejarahnya yang hakiki.
Siapa Cakrabuana ?
Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja)
dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki Gedeng Tapa, memperoleh putera dan
putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara. Sang Pamanah Rasa
mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja
Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon,
yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah ibu maupun ayah,
Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastukancana.
Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrsa terlebih dahulu
telah memeluk agama Islam. Ia pun alumnus dari Pesantren Quro yang didirikan
oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan Hasanudin). Menjadi tidak
mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang
Pamanahrasa.
Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga
bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan ada perselisihan
tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada pula
yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama
adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan
Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran diteruskan
oleh Surawiesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika
masih menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan
Portugis (1512 M) disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang di
dokumentasikan dengan baik.
Yoseph Iskandar didalam bukunya menjelaskan, bahwa : pada suatu
ketika, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik
kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan
Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang
kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga
adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya
sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan,
terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang
membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang
bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi
mereka.
Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan
mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu
Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat
maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya
mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon
tetap tinggal di Pakuan.
Tentang Rajasangara ini mungkin pada suatu waktu menimbulkan
penafsiran yang berbeda, terutama ketika ia diindetifisr sebagai Kiansantang.
Padahal nama Rajasangara sangat jarang disebut sebut dalam sejarah lisan dan
kalah tenar dibandingkan dengan Kiansantang. Namun sangat sulit mencari sejarah
yang ditulis resmi tentang Kiansantang.
Pengembaraan
Didalam cerita masa lalu, pengembaraan seorang
anak raja guna menambah ilmu dan memperluas cakrawala bathinnya merupakan
faktor penting bagi perkembangan kepribadiannya. Hal ini sama ketika dilakukan
oleh Niskala Wastu Kancana yang mengembara ke wilayah Sumatera, atau Sri Baduga
sebelum menduduki tahta Pajajaran. Dalam dokumen resmi pun demikian, seperti
yang diketahui tentang Bujangga Manik, yang kelak dikemudian hari banyak
dirujuk sebagai topografi untuk wilayah pada saat itu.
Demikian pula dalam kisah Walanagsungsang, sebagai seorang yang haus akan
ilmu Pangeran Walangsungsang kemudian memohon pamit juga kepada Ki Gedeng Tapa
untuk berguru mencari ilmu ditempat lain.
Sulit dibayangkan oleh para peminat sejarah yang
kadung mendikotomi ageman ketika ada kisah Walangsungsang memperistri Indang
Geulis, putri dari Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Hal ini terjadi ketika
Walangsungsang melakukan pengembaraan ke wilayah Timur. Hingga pada suatu hari
ia tiba di padepokan Ki danuwarsih, seorang pendeta agama Budha. Ki Danuwarsih
adalah anak seorang pendeta Budha, Ki Danusetra yang berasal dari Gunung
Dihyang (dieng), kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota
Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.
Pemaknaan lainnya mungkin juga dapat diambil
ketika Walangsungsang berguru tanpa ia pun harus meninggalkan agamanya. Yoseph
Iskandar menafsirkan, bahwa : Mungkin saja ia ingin mengetahui agama Budha,
hanya sebagai studi perbandingan.
Didalam buku yang sama Yoseph Iskandar
menjelaskna pula, bahwa : tempat tinggal Ki danuwarsih, menurut naskah Pustaka
nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4, hanya diterangkan di Parahiyangan bang
Wetan. Ketika mengadakan “Penelitian Bahasa Sunda” di Kabupaten Pakalongan atas
prakarsa Lemit Unpas tahun 1989, dikecamatan Paninggaran, terdapat beberapa
situs, diantaranya makam keramat Embah Wali Tanduran ; makam Pajajaran di bukit
Sigabung, dan makam Pajajaran di Pacalan Kampung Sebelas.
Pada saat dilakukan penelitian, sesepuh dan
rakyat di Paninggaran, tidak pernah mengetahui asal usul nama daerahnya. Ada yang mengatakan
Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-inggar” (penuh kegembiraan).
Dalam bahasa Sunda sangat jelas bahwa arti dari kata paninggarang adalah
pemburu dalam bahasa Indonesia.
Setelah diterangkan bahwa paninggaran itu artinya
pemburu, para sesepuh menerangkan, sesungguhnya Embah Wali Tanduran itu dulunya
seorang pemburu. Bahkan orang tua mereka (penduduk asli Paninggaran), semuanya
mahir berburu. Mereka membuktikannya dengan memperlihatkan tombak-tombak pusaka
dan panah pusaka peninggalan leluhurnya, yang khusus hanya digunakan untuk
memburu.
Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam,
tetapi pasarean atau patilasan, bekas Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang
disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean tempat pangeran
Cakrabuan menyepi. Kalau makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung
Sebelas, itu tempat tinggalnya Pangeran Cakrabuana. Tentu masyarakat tidak akan
berani merusak batu-batu yang berada disana, karena suka bertemu dengan harimau
putih dari Pajajaran.
Pangeran Cakrabuan nama lain dari Walangsungsang.
Menurut KH Syarifudin, patilasan-patilasan (situs) Pangeran Cakrabuana banyak
terdapat tersebar di beberapa kecamatan. Setelah melihat peta Kabupaten
Pekalongan, patilasan-patilasan tersebut dapat dihubung-hubungkan melalui garis
lurus, terbentang antara Gunung Dieng (Dihyang) sampai Cirebon.
Berdasarkan identifikasi mungkin saja
Walangsungsang pernah tinggal di padepokan agama Budha di dataran tinggi Dieng.
Atau pada waktu itu dataran tinggi Dihyang (Dieng) masih termasuk wilayah
“Parahiyangan bang Wetan”. Kalau indentifikasi tersebut “benar”, mungkin ketika
Walangsungsang, Indang Geulis, dan Rara Santang, pulang ke Cirebon, melalui
jalur dan melewati Paninggaran.
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun
1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam
848 Hijriah, Walangsungsang membuka perkampungan baru dihutan pantai kebon
pasisir, diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir. Nama tersebut diambil
berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung Cereme
yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora).
Ketika Cirebon Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian
disebut Cirebon Girang. Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki
Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi, dengan julukan Ki Cakrabumi yang
kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.
Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran
Walangsungsang alias Ki Samadullah alias Pangeran Cakrabuana, mendapat nama
baru, Haji Abdullah Imam. Begitu juga adiknya Rara Santang mendapat nama baru
sebagai Hajjah Syarifah Muda’im.
Haji Abdullah Imam bermukim selama 3 bulan di
Mekkah. Ketika dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat sempat singgah di Bagdad (Irak) dan Cempa (Indo Cina). Di Cempa, Haji
Abdullah Imam berguru kepada Syeh Ibrahim Akbar. Haji Abdullah Imam dijodohkan
dengan puterinya dan dibawanya pulang ke Cirebon.
Setibanya di Cirebon, isterinya Indah Geulis telah melahirkan seorang puteri
kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.
Kemudian Haji Abdullah Imam memperisteri Ratna
Riris, puteri dari Ki Danusela dan namanya diganti dengan Kancana Larang.
Ketika Ki Danusela wafat, Haji Abdullah Imam terpilih menjadi kuwu yang kedua
di Cirebon Larang. Selanjutnya setelah Ki Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Haji
Abdullah Imam tidak mendapat warisan tahtanya, melainkan mendapat warisan harta
kekayaan yang berlimpah.
Bermodal warisan harta kekayaan dari kakeknya,
Haji Abdullah Imam mendirikan keraton yang kemudian diberi nama Keraton
Pakungwati, diambil dari nama puterinya. Kemudian Haji Abdullah Imam mendirikan
tentara kerajaan.
Hubungan Cirebon - Pajajaran
Memperhatikan puteranya telah berhasil membuat
kerajaan Islam pertama di Pajajaran, Sri Baduga Maharaja mengutus Ki Jagabaya
(Perwira Angkatan Perang Pajajaran) beserta pengiringnya, juga turut serta
Rajasangara (adik bungsu Haji Abdullah Imam), untuk merestuinya. Di keraton
Pakungwati, Haji Abdullah Imam dinobatkan sebagai raja daerah dengan gelar Sri
Mangana.
Walangsungsang direstui ayahnya untuk menjadi
penguasa Cirebon namun secara sukarela ia menyerahkannya kepada keponakannya,
anak dari Rarasantang, yaki Syarif Hidayat. Sekalipun demikina ia pun masih
mampu bertindak sebagai pelindung Cirebon.
Secara politis hubungan Pajajaran dengan Cirebon
sangat tergantung dari hubungan Sri Baduga dengan Walangsungsang. Hal ini
mengalami masa krisis ketika Syarif Hidayat, atas dasar saran para wali
memproklamirkan Cirebon
sebagai negara yang merdeka, dengan Raja pertamanya Syarif Hidayat. Pada masa
itu Sri Baduga akan mengirimkan pasukan untuk menyerang Cirebon, namun berhasil dicegah oleh Purohita
(pendeta tertinggi keraton), dengan alasan tidak baik seorang kakek memerangi
anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara merdeka.
Memang kekhawatiran Sri Baduga terhadap Cirebon
karena terlalu rapatnya hubungan dengan Demak, terutama pasca pernikahan
keturunan Cirebon dengan Dengan dan gadirnya armada laut Demak di Cirebon.
Padahal Pajajaran memiliki kekuatan pasukan darat namun sangat lemah di laut.
Hubungan dagang Demak – Cirebon makin menyulitkan
perdagangan Pajajaran dengan dunia luar. Dalam teori politik ekonomi
dimungkinkan hubungan Demak – Cirebon
bukan hanya menyangkut masalah pengembangan agama, melainkan juga hubungan
dagang. Untuk menjaga wilayahnya, Sri Baduga kemudian membuat perjanjian dengan
Portugis. Hal yang sama dilakukan oleh Hasanudin (1546) ketika Banten dan Cirebon membantu Demak
untuk menyerang Pasuruan, sama-sama negara islam.
Dalam melaksanakan perjanjian, dari Pajajaran
diwakili oleh Surawisesa, putra mahkota. Dalam hikayat ini dimitoskan pula
kisah Mundinglaya Dikusumah yang melawan Guriang. Kelak Guriang ini di
tafsirkan sebagai orang-orang Portugis yang berbadan tinggi dan besar jika
dibandingkan dengan orang sendiri.
Pasca wafatnya Sri Baduga keseganan Cirebon
terhadap Pajajaran menjadi berkurang. Perang antara keduanya terjadi selama lima tahun. Di front
lainnya Galuh masih merasa memiliki ikatan sejarang dengan Cirebon,
karena Cirebon dahulu berada dibawah daulat
Galuh, hingga Galuh melakukan penyerangan ke Cirebon.
Ketika Cirebon sedang mempersiapkan penyerangan
yang ditujukan ke Daerah Talaga, peperangan terhenti ketika Syarif Hidayat
mendapat berita, bahwa Walangsungsang pendiri Pakungwati dan pelindung Cirebon
wafat (1529 M). Dengan demikian Cirebon
kehilangan sosok pelindung yang dapat diandalkan.
Walangsungsang disebut-sebut memiliki andil yang dominan
mencegah pertumpahan darah, ketika pasca pengadilan Syekh Siti Jenar yang
dilakukan Walisongo dihukum mati, ia berhasil mencegah penguasa Cirebon untuk
menghukum semua penganut Syi’ah.
Demikianlah kisah seorang pembaharu teureuh Sunda
yang memiliki andil besar dalam kisah penyebaran agama islam dan membangun Kota
Cirebon. Ia pun memberikan pelajaran bagi kita semua, bahwa tahta bukan
segala-galanya. Sebagaimana yang ia contohkan ketika harus menyerahkan tahta Cirebon kepada
keponakannya sendiri, yakni Syarif Hidayat.
Dari cerita ini pula kedepan diharapkan ada
kupasan yang lebih mendetail tentang pembedaan pengaruh penyebaran islam dengan
ekspansi dagang yang kadang harus bercaruk, sulit dipisahkan, sehingga sulit
menarik benang merahnya. (cag heula)